“Sesuatu yang baik dampaknya bagi orang lain, belum tentu akan baik pula untuk kita”. Kalimat tersebut mungkin menjadi landasan Saudi Arabian Standards Organization (SASO) dalam menetapkan keharusan penggunaan plastik oxo-biodegradable. Tak seperti larangan yang ditetapkan di Uni Eropa, negara Timur Tengah tersebut justru menilai oxo-biodegradable sebagai solusi terbaik regulasi plastik di wilayahnya.
[su_spacer size=”5″]
Berdasarkan hasil pengarahan yang dilakukan pada 5 Juni 2019, Uni Eropa memang meresmikan pelarangan plastik berbahan oxo-biodegradable. Keputusan tersebut didasari oleh klaim badan tersebut yang menyatakan kalau plastik oxo-biodegradable tidak memiliki bukti untuk “dapat melalui biodegradasi secara sempurna ataupun dalam waktu yang masuk akal”. Padahal, menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh banyak badan, plastik oxo-biodegradable sudah terbukti dapat terfragmentasi secara sempurna dalam waktu relatif cepat.
[su_spacer size=”5″]
Baca selengkapnya: Yakin Plastik Oxo-biodegradable Timbulkan Mikroplastik?
[su_spacer size=”5″]
Sebagai salah satu badan politik paling berpengaruh di dunia, tentunya banyak negara yang mengikuti peraturan tetapan Uni Eropa. Namun, dalam kasus ini, seperti yang sudah disebutkan di awal artikel, Saudi Arabia justru memutuskan untuk tetap mengharuskan penggunaan plastik berbahan oxo-biodegradable yang sesuai standar. Bahkan, regulasi plastik ini juga diikuti oleh beberapa negara timur tengah serta Afrika lainnya.
[su_spacer size=”5″]
Kasus di atas bukanlah satu-satunya perbedaan kebijakan yang terjadi di dua atau lebih negara yang berbeda. Belum lama ini, Uni Eropa juga gencar melakukan pelarangan minyak kelapa sawit, salah satu komoditas paling menguntungkan Indonesia, atas dasar lingkungan. Padahal, sebagai suatu negara, Indonesia memang diberkahi dengan kelapa sawit yang notabene lebih kompetitif dibanding minyak bunga matahari, kedelai, ataupun canola yang diproduksi Eropa dan A.S.
[su_spacer size=”5″]
Beberapa larangan yang disebutkan tadi bisa saja didasari oleh faktor bisnis, ataupun faktor-faktor lain seperti geografi, demografi, maupun aspek-aspek lainnya yang mempengaruhi regulasi suatu komoditas di wilayah tertentu. Singkat kata, satu regulasi yang baik di suatu wilayah, dalam hal ini termasuk regulasi plastik, belum tentu akan menghasilkan dampak yang sama di wilayah lainnya.